PP ini adalah wujud pengakuan negara terhadap pernikahan masyarakat penghayat kepercayaan menurut tata cara mereka. PP ini juga merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017 yang mengakui penghayat kepercayaan masuk dalam identitas e-KTP.
Sebagaimana dikutip dari website jdih.setneg.go.id, Selasa (23/7), PP No 40 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah Diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. itu ditandatangani Presiden Jokowi pada 23 Mei 2019.
Salah satu yang diatur dalam PP ini adalah tata cara pencatatan perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. “Perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” demikian bunyi Pasal 39 ayat 1 dalam PP ini.
Pemuka penghayat yang dimaksud disini ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Organisasi tersebut harus terdaftar di kementerian terkait.
“Pencatatan perkawinan dilakukan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota atau UPT Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota paling lambat 60 hari setelah dilakukan perkawinan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” demikian bunyi Pasal 40 ayat 1.
Adapun syarat administrasi yang harus dipenuhi adalah :
- mengisi formulir pencatatan perkawinan
- pasfoto suami dan istri
- Akta Kelahiran
- Dokumen perjalanan luar negeri suami dan/atau istri bagi orang asing
Pejabat terkait kemudian melakukan verifikasi dan validasi terhadap data yang tercantum dalam formulir pencatatan perkawinan dan dokumen yang dilampirkan. Setelah dinilai lengkap dan sesuai, pejabat terkait mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan. “Kutipan akta perkawinan diberikan masing-masing kepada suami dan istri,” demikian bunyi pada 40 ayat 2 huruf e.
Seperti diketahui, pada November 2017 MK telah mengakui legitimasi Penghayat Kepercayaan dengan memberi ruang mereka dicatat di e-KTP. “Hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional (constitutional rights) warga negara, bukan pemberian negara. Dalam gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis, yang juga dianut oleh UUD 1945, negara hadir atau dibentuk justru untuk melindungi (yang di dalamnya juga berarti menghormati dan menjamin pemenuhan) hak-hak tersebut,” demikian bunyi putusan MK kala itu, yang disahkan oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Sebelum PP ini terbit, praktik pernikahan penghayat kepercayaan kerap terkendala urusan administrasi. Pasalnya, kolom agama pada KTP penghayat kepercayaan dikosongkan alias diberi tanda setrip (-). Hal ini dianggap bermasalah oleh pencatat perkawinan karena yang diakui hanya agama yang tercatat. Walhasil, kelurahan, misalnya, enggan menerbitkan surat pengantar menikah bagi penghayat kepercayaan.
Dukcapil Bisa !!